Minggu, 14 Agustus 2011

Berkhidmat Pada Suami


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah


Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?

YA UKHTI…, JAUHILAH TABARRUJ…!



Penulis: Buletin Islamiy Al-Minhaj, edisi I /I Rubrik “Mar`ah Sholihah” 

 Apa itu Tabarruj…?
Tabarruj yakni bila “seorang wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang seharusnya wajib ditutupi, dimana bagian-bagian itu akan memancing syahwat pria.” [ Fathul Bayan 7 / 274 ]



Allah Azza wajalla tentang permasalahan ini berfirman dalam Surah Al-Ahzab:

(٣٣) ~ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ¯
artinya:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kalian bertabarruj seperti bertabarruj-nya wanita jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [QS Al-Ahzab : 33 ]


Isyratun Nisa`


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Isyratun nisa’ merupakan tema yang sudah berulang dibicarakan dalam rubrik ini. Namun pertanyaan seputar masalah ini terus saja datang. Karenanya, tidak ada salahnya kita angkat kembali namun dalam kemasan lain. Satu bab dalam Kitabun Nikah dari kitab Al-Mulakhkhsash Al-Fiqhi karya Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, ingin kami nukilkan untuk pembaca yang mulia. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Fanatik Buta


Masail al-Jahiliyyah Masalah ke-93
Fanatisme yang membabi buta/fanatik buta

Bahwasannya, fanatiknya manusia-manusia tersebut pada kelompoknya baik itu di atas kebenaran atau kebatilan. Hal ini adalah memang sesuatu yang wajib, yang ada pada mereka (masyarakat jahiliyah). Maka Allah menyebutkan apa yang mereka kerjakan.

Kunci Surga


Penulis: Al-Ustadz Agus Su’aidi As-Sidawy

Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “
(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).

Analogi Iblis

Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary

"Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
Umat Islam seluruhnya beriman bahwa Allah subhanahu wa ta'ala adalah Rabbnya, pengaturnya, Dzat yang maha bijaksana, maha mengetahui, maha kuasa, serta maha pengasih lagi maha penyayang, bersamaan dengan itu umat Islam juga beriman bahwa Allah telah mengutus para rosul untuk memberikan petunjuk pada mereka. Allah telah menurunkan Al Qur'an bersamanya, apa yang telah diberitakan oleh rosul, Allah telah memberitakannya dan apa yang diperintah oleh rosul, Allah telah memerintahkannya. Dialah Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Di dalam Al Qur'an Allah berfirman, "(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al Qur'an yang diturunkanNya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmuNya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya." (QS An Nisaa: 166).

Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA


Banyak sisi kelam dari kisah hidup para nabi palsu yang terkubur oleh puja dan puji para pengikutnya. Mirza Ghulam Ahmad adalah contoh yang amat layak diketengahkan. Bagaimana sesungguhnya akhlak dari “nabi” orang-orang Ahmadiyah ini?

Dengan menengok –walau sekilas– tentang sejarah munculnya sekte Ahmadiyah ini, diharapkan kita akan mengenal dengan jelas jati diri mereka dan pimpinan mereka.

Mengenal abu Sangkan dan Keilmuannya (II)

Al-Ustadz Abu Umamah Abdurrohim bin Abdulqohhar al-Atsary

Bagaimana Kedudukan Ahli Kalam, Tokoh Sufi Di Dalam Islam?

Mereka itu seperti yang dikatakan oleh asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah :

“Mereka itu dari jenis dukun, tukang sihir yang telah turun kepada mereka syetan, sebagaimana firmanNya:

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa”. (QS.asy-syu’aro’: 221-222) (Majmu’,11/98)

“Sesungguhnya syetan itu membisikkan kepada kawan-kawannya”. (QS. Al-anam:121)

Mengenal Abu Sangkan dan Keilmuannya (I)

Penulis: Al-Ustadz Abu Umamah Abdurrohim bin Abdulqohhar al-Atsary

Abu Sangkan lahir pada tanggal 8 Mei 1965 di desa Alasbuluh Selat Bali Banyuwangi Jawa Timur, nama anak – anaknya adalah Essenza Quranique, Sangkan Paraning Wisesa, dan Gibraltar Wahyamaya. Bapaknya meninggal ketika Abu Sangkan usia 15 hari dari kalimat terakhir yang diucapkan bapaknya ketika akan meninggal adalah ya Quddus….., ya Quddus….. kata Abu Sangkan “ Kata – kata ini sangat diidam – idamkan oleh setiap mukmin pada akhir kalamnya”. Padahal kata –kata ya Quddus…. Ya Quddus….

Mengenali Ciri-ciri Teroris Khawarij

Penulis: Buletin Islam AL ILMU Edisi: 41/ XI / VIII / 1431

Pembaca yang mulia, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita semua memahami agama Islam ini dengan pemahaman yang benar sehingga kita tidak salah dalam mengamalkan agama ini dan selamat dari berbagai kerancuan dalam memahaminya. Sebagaimana dapat kita saksikan, banyak orang merasa mengamalkan agama Islam ini namun ternyata agama Islam sendiri berlepas diri dari tindakan dan perbuatan mereka, seperti yang terjadi pada para teroris khawarij.

Selasa, 09 Agustus 2011

Proses Syar'i Sebuah Pernikahan::: (note bagi yg ingin hidup bahagia dalam rumah tangga dunia akhirat)

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

Senin, 08 Agustus 2011

Wanita Shalihah Bersama Suami Terakhirnya Di Dalam Surga

Penulis: Asy Syaikh Muhammad Ali Firkaus

Beliau ditanya: setelah masa iddah-ku selesai disebabkan karena suamiku meninggal, ada beberapa orang yang datang melamarku, dan aku enggan menikah agar aku menjadi istri bagi suami pertamaku yang telah meninggal, yang ketika aku bersamanya kami memiliki 3 orang anak. Alasanku dalam hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam:

«المَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا»

"seorang wanita itu bersama suami terakhirnya."


Permasalahan Rumah Tangga, Sebuah Kemestian

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah


Sedikit sekali rumah tangga yang selamat dari lilitan perselisihan di antara anggotanya, khususnya di antara suami istri. Karena yang namanya berumah tangga, membangun hidup berkeluarga, dalam perjalanannya pasti akan menjumpai berbagai permasalahan, kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Permasalahan yang muncul ini dapat memicu perselisihan dalam rumah tangga yang bisa jadi berujung dengan pertengkaran, kemarahan dan keributan yang tiada bertepi, atau berakhir dengan damai, saling mengerti dan saling memaafkan.


Sampai pun rumah tangga orang-orang yang memiliki keutamaan dalam agama ini, juga tidak lepas dari masalah, perselisihan, pertengkaran, dan kemarahan. Namun berbeda dengan orang-orang yang tidak mengerti agama, orang yang memiliki keutamaan dalam agama tidak membiarkan setan menyetir hingga menjerumuskannya kepada apa yang disenangi oleh setan. Bahkan mereka berlindung kepada Allah k dari makar setan, berusaha memperbaiki perkara mereka, menyatukan kembali kebersamaan mereka dan menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Rumah tangga yang mulia lagi penuh barakah, yang dibangun oleh seorang hamba termulia, kekasih Allah , Muhammad bin Abdillah , juga tak lepas dari kerikil-kerikil yang menyandung perjalanannya, sampai beliau pernah bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istri beliau selama sebulan karena marah kepada mereka. Berikut ini petikan kisahnya:

Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan

Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran 

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:


وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)



Bergaul dengan Akhlak yang Baik

Mungkin engkau pernah mendengar atau membaca hadits Abu Dzar Al-Ghifari radhiyAllahu ‘anhu yang menyebutkan sabda sang Rasul ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susullah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 97 dan di kitab lainnya)


Hadits ini, kata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di rahimahullahu, merupakan hadits yang agung. Di dalamnya, Rasul yang mulia ShallAllahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak hamba-hamba-Nya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapatkan kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun belakangan.


Nasihat Imam Asy-Syafi'i kepada Muridnya Imam Al-Muzany

Penulis: Tarikh Ibnu Asâkir 

Imam Muzany bercerita,”Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang wafatnya, lalu aku berkata,”bagaimana keadaanmu pagi ini , wahai ustadzku?”

beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan parjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tau; apakah diriku berjalan ke syurga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan , atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”

Aku(Al-Muzany) berkata, “Nasihatilah aku”.




Siapakah Wahabi? (pelajaran untuk orang-orang yang asal Bicara)

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc


Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu1. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?

Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia.
Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.

Kamis, 04 Agustus 2011

Sebelum Terlalu Banyak Berharap

Disadari atau tidak kebanyakan orang tua merasa mempunyai anak yang jauh dari agama, dan lebih mementingkan kehidupan dunia–wal ‘iyadzu billah–.. padahal semua orang tua menginginkan hal yang baik-baik untuk sang buah hati. Menggantungkan harapan kepada si anak, agar menjadi manusia yang patut dibanggakan.

Namun tunggu dulu, memliki anak yang tidak sesuai harapan dalam memegang agamanya bukanlah serta merta menjadi kesalahan mutlak sang anak.


Sadarlah Ayah..

Ini adalah kali kesekian, melihat seorang ayah yang membiarkan anak gadisnya dipelototin dari atas ke bawah, dari bawah ke atas oleh tidak hanya satu laki-laki, tetapi banyak… *ngebayangin mulai dari keluar pintu rumah,jalan ke sekolah, les, makan-makan dengan teman-temannya, kemudian baru pulang…*
Bagaimana tidak, rok yang dipakainya hanya sebatas paha, seukuran dengan panjang rok anak TK, dengan atasan yang sudah dimodifikasi modern *katanya* Wallahul musta'an

Rabu, 03 Agustus 2011

Indahnya keluarga Salafy

Download Kajian Daurah Klaten – Indahnya Keluarga Salafy
Hari/tgl : Ahad, 17 Muharram 1431 (3 Januari 2010)
Tempat : Masjid Asy Syifa’, RSI Klaten
Tema: Indahnya Rumah Tangga Salafy.
Pemateri : Al Ustadz Abu Nashim Mukhtar
[SND] 02. Indahnya Rumah Tangga  Salafy-Ust Mukhtar.mp3

Inilah Jawabanku atas Tuduhanmu...

Bismillah..

Beberapa waktu lalu, seorang teman serta merta menuduh bahwa aku adalah WAHABI..
Tercengang dengan susunan kalimat yang tertata mendiskriminasiku, dan menghasut teman-teman, agar menjauh dariku.. selayaknya aku ini adalah Virus yang sangat ditakutinya.. Memutar balikkan fakta, dan menambahkan kalimat-kalimat yang tentunya mejadi semakin menarik untuk dunia Ghibah meng-Ghibah..Astaghfirullahal'adziim..

USHULUTS TSALATSAH (TIGA LANDASAN UTAMA)

Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab 

MUQADDIMAH

Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda.
Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami empat masalah, yaitu :

1) Ilmu, ialah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.

2) Amal, ialah menerapkan ilmu ini.

3) Da’wah, ialah mengajak orang lain kepada ilmu ini.

4) Sabar, ialah tabah dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkannya dan berda’wah kepadanya.


Dalilnya, firman Allah Ta’ala : “ Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan saling nasihat menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasihat-menasihati untuk (berlaku) sabar”. (Al-’Ashr : 1-3).

Imam Asy-Syafi’i[1] Rahimahullah Ta’ala, mengatakan : ”Seandainya Allah hanya menurunkan surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain, sungguh telah cukup surat ini sebagai hujjah bagi mereka”.


Prioritas Pembenahan Aqidah

Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah

Sungguh kita tengah berada dalam arena fitnah yang berkepanjangan. Negeri yang aman kini telah berubah bentuk menjadi negeri yang mencekam dan menakutkan. Kolusi, korupsi, dan nepotisme menjadi bagian penting dalam tubuh para penegak dan penduduknya. Krisis politik, sosial, dan perekonomian terus menggoyang keutuhan negeri ini, diwarnai dengan kerusuhan, keributan, dan demonstrasi yang tak henti-hentinya. Bersamaan dengan itu, semua dekadensi moral, akhlaq, dan aqidah anak-anak bangsa telah mencapai klimaksnya, kewibawaan bangsa dan umat Islam pun yang mayoritas penduduknya lenyap, kehilangan keseimbangannya di tengah-tengah gempuran tekanan kaum kuffar. Quo Vadis bangsa Indonesia??

Bila Engkau Tidak Malu, Berbuatlah Sesukamu

Salah seorang anak Al-Qa’nabi mengabarkan kisah ini.

’Ayahku seorang pemabuk dan selalu bergaul dengan anak-anak muda berandalan. Suatu hari ia mengundang teman-temannya dan duduk di depan pintu, menanti keadatangan mereka. Ketika dia menunggu, Syu’bah berlalu di hadapannya denngan menunggang keledai, diikuti sejumlah orang berlomba dibelakangnya untuk menyusulnya.

Wanita yang Lisannya adalah Al-Qur’an

Seorang wanita tua duduk di atas sebatang kayu (pohon) dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Hadhrat Abdullah bin Mubarak rahimahullah kebetulan melewati jalan itu. Ia juga hendak menuju ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji dan mengunjungi makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Melihat seorang wanita yang terlihat khawatir dan kesulitan, ia berkata kepadanya. Pembicaraan tersebut dikisahkan sebagai berikut:

Ummu Shalih, Seorang Nenek yang Menghafalkan Al-Qur’an di Usia 82 Tahun

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar [54] : 32)
Banyak orang di seluruh dunia menghafal Al-Qur’an, dan tidak aneh melihat seorang anak menghafal Al-Qur’an dan di usia yang sangat muda. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Al-Qur’an mudah untuk dihafalkan, telah menjadikanya mudah bagi Ummu Shalih yang berusia 82 tahun. Dalam wawancara bersama Ummu Shalih, ia ditanyai sejumlah pertanyaan berikut:

Pertanyana: “Alasan apa yang mendorong anda untuk menghafal Al-Qur’an setelah sekian tahun berlalu?”

Ummu Shalih: “Aku selalu berharap menghafalkan Al-Qur’an sejak aku masih muda. Ayaku selalu berdoa kepada Allah bagiku agar menjadi orang yang menghafal Al-Qura'n sebagaimana dirinya dan saudaras-saudara laki-laki yang lebih tua di dalam keluargaku yang menghafalkan Al-Qur’an. Maka aku mulai menghafal tiga bagian dan menamatkannya di usia 13 tahun. Aku menikah dan menjadi sibuk dengan urusan rumah tangga dan anak-anak. Setelah memiliki tujuh orang anak, suamiku meninggal. Anak-anakku mash kecil maka aku menghabiskan waktu untuk membesarkan dan mendidik mereka, dan setelah mereka dewasa dan menikah, aku memiliki lebih banyak waktu untuk diriku sendiri. Oleh karena itu, hal pertama yang aku lakukan adalah memusatkan perhatian pada Al-Qur’an.

Pertanyaan: Ceritakanlah kepada kami perjalanan anda bersama Al-Qur’an."

Ummu Shalih: “Anak perempuanku yang paling kecil masuk SMA dan dia adalah anak yang paling dekat denganku dan yang paling kucintai, karena dia tinggal bersamaku setelah kakak-kakak perempuannya menikah dan sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, dan karena dia adalah gaids pendiam, shalihah dan penuh cinta dan baik. Apalagi, dia tertarik mempeelajari Al-Qur’anul Karim, dan guru-gurunya mendorongnya. Ditambah lagi dia sangat antusias dan selalu menceritakan kepadaku banyak wanita yang terdorong oleh motivasi besar untuk menghafal Al-Qur’an, dan disinilah aku memulai.”

Pertanyaan: “Ceritakanlah bagaimana cara anda menghafal.”

Ummu Shalih: “Kami menetapkan 10 ayat (maksudnya dia dan anak perempuannya yang masuk SMA). Setiap hari setelah Ashar kami duduk bersama. Dia membaca dan aku mengulanginya tiga kali. Kemudian dia menerangkan artinya kepadaku, dan setelah beberapa saat dia mengulanginya tiga kali. Pada hari yang berikutnya, dia mengulanginya tiga kali sebelum berangkat ke sekolah. Dia juga merekam bacaan Syaikh al-Husary rahimahullah, mengulangi setiap ayat tiga kali dan begitulah aku melanjutkan mendengarkannya hampir sepanjang waktu. Kemudian pada hari berikutnya kami akan melanjutkan pada 10 ayat berikutnya jika hafalanku baik. Jika tidak, kami akan menunda menghafal ayat berikutnya sampai hari berikutnya lagi. Lebih lanjut, kami menetapkan hari Jum’at untuk meninjau kembali hafalan selama satu minggu. Dan inilah perjalanan dari awal”

Kemudian Ummu Shalih berkata: “Setelah 4,5 tahun aku telah menghafal 12 juz menurut cara yang aku jelaskan kepada anda. Kemudian anakku menikah. Ketika suaminya mengetahui kegiatan kami mengenai hafalan, dia menyewa rumah dekat denganku, dekat dengan rumahku, sehingga memungkinkan untuk melanjutkan kegiatan hafalan. Lebih lanjut, dia, semoga Allah memberikan pahala baginya, selalu mendorong kami dan kadang-kadang duduk bersama kami mendengarkan, menjelaskan, dan mengajarkan. Kemudian setelah tiga tahun perkawinannya, anakkmu mulai sibuk dengan anak-anak dan urusan rumah tangganya, dan jadwal kami pun terganggu, akan tetapi hal itu tidak membuatnya menyerah. Bahkan, dia melihat hasratku untuk menghafal masih tetap ada, dia mencarikan guru khusus untuk melanjutkan kegiatan tersebut di bawah pengawasannya. Akhirnya aku menamatkan hafalan dengan pertolongan Allah, dan anakku masih berusaha menamatkan hafalannya terhadap Al-Qur’anul Adzim. Dia masih ketinggalan sedikit insya Allah.

Peertanyaan: “Motivasimu (untuk menghafal –pent.), apakah mempengaruhi wanita-wanita lain di sekelilingmu?"

Ummu Shalih: “Itu benar-benar memberikan dampak baik yang kuat. Anak-anak perempuanku dan anak-anak perempuan (dari suami terdahulu) semuanya terdorong dan berussaha untuk belajar dan mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak mereka dan belajar bagi diri mereka sendiri.

Pertanyaan: “Setelah menamatkan Al-Qur’an, tidakkah anda berpikir untuk mulai menghafalkan hadits?”

Ummu Shalih: “Sekarang aku telah menghafalkan 90 hadits dan insya Allah aku akan terus melakukannya. Hafalanku tergantung pada rekaman dan siaran radio Qur’an. Di akhir setiap minggu, anak perempuanku datang dan mengecek tiga hadits fahalanku, dan aku sekarang mencoba menghafalkan lebih banyak lagi.

Pertanyaan: “Selama menghafalkan Al-Qur’an, apakah hidup anda berubah? Apakah hal itu mempengaruhi hidupmu?”

Ummu Shalih: “Ya, aku mengalami perubahan besar dan aku selalu mencoba, segala puji bagi Allah, untuk taat kepada Allah sebelum mulai menghafal. Namun demikian, setelah aku mulai tugas menghafalkan, aku mulai merasakan kepercayaan diri, kepercayaan diri yang besar dan semua kekhawatiran perlahan-lahan sirna. Aku bahkan mencapai tingkat membebaskan diriku dari semua kekhawatiran yang berlebihan akan ketakutan mengenai anak-anakku dan urusan mereka, dan semangatku bertambah. Aku memiliki tujuan mulia untuk dilaksanakan dan ini adalah nikmt yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala kepadaku, karena kita mengetahui bahwa sebagian wanita, ketika mereka beranjak tua dan tidak memiliki suami, dan anak-anak mereka menikah, mungkin dihancurkan oleh waktu dan pikiran kosong, kecemasan, dan seterrusnya. Akan tetapi, Alhamdulillah, aku tidak melaluinya dan aku menyibukkan diri dengan tugas yang besar, dan tujuan yang besar.

Peranyaan: “Tdakkah anda berpikir pada saat tertentu, untuk bergabung dengan majelis yang memusatkan perhatian untuk mengajarkan Al-Qur’an?”

Ummu Shalih: “Ya, sebagian wanita menyarankan hal ini kepadaku, akan tetapi aku adalah wanita yang terbiasa tinggal di rumah, dan aku tidak suka keluar setiap hari dan Alhamdulillah, anak perempuanku mencukupiku dari semua kesulitan dan aku merasa bahagia ketika belajar darinya. Anakku telah memberikan teladan dalam kebaikan dan ketaatan yang jarang ditemukan di masa kita ini. Dia memulia tugas dan kegiatan ini bersamaku ketika dia masih remaja, dan ini adalah usia rawan yang banyak dikeluhkan orang. Dia selalu menekan dirinya agar dia dapat meluangkan waktu untuk mengajariku, dan dia mengajariku dengan baik dan bijaksana. Suaminya adalah penolong yang baik baginya dan dia telah berusaha keras. Aku memohon kepada Allah subhanau wa ta’ala agar memberikan mereka kebahagiaan dan menjadikan anak-anak mereka anak-anak yang shalh.

Pertanyaan: “Apa yang anda katakana kepada wanita di usia anda yang ingin belajar dan menghafalkan Al-Qur’an namun merasa khawatir dan merasa tidak mampu melakukannya?”

Ummu Shalih: “Aku katakana kepadanya, tidak aka nada keputusasaan dengann tekat yang teguh, ikhlas dan benar. Mulailah dengan ikhlas, keteguhan pendirian dan tawakkal kepada Allah setiap saat. Dan ingatlah, pada usia sekarang ini anda seharusnya memiliki waktu untuk diri anda sendiri. Namun jangan gunakan waktu anda hanya untuk keluar atau tidur dan seterusnya, Sebaliknya, sibukkanlah diri anda dengan kebajikan.

Tanya: “Apa yang akan anda katakan kepada wanita yang masih muda? Apa yang akan anda nasihatkan kepadanya?”

Ummu Shalih: “Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu. Gunakanlah nikmat yang Allah berikan kepadamu dari kesehatan dan jalan dan kenyamanan hidup. Gunakanlah untuk menghafalkan Kitabullah. Inilah cahaya yang akan menghidupkan hatimu, hidupmu dan kuburmu setelah engkau mati. Dan jika engkau memiliki seorang ibu, maka berusahalah untuk mengajarinya, dan tidak ada nikmat yang lebih baik bagi seorang ibu darpada seorang anak shalih yang menolongnya untuk lebih dekat kepada Allah.”

UmmShalih, A Grand-Mother Memorizes Quran
Dibawakan oleh Dr Saleh as-Saleh pada tanggal 1 Muharram 1426 H, 10 Februari 2005.

Dipublikasikan pertama kali pada majalah Ad-Da’qah, no. 1552, 17 Rabiul Awal 1417 (1 Agustus 1996)
Transkrib dalam bahasa Inggris oleh: Ummu Maahir al-AmreekiyyahAlih bahasa: Ummu Abdillah al-Buthoniyah.

Aku Tidak Menangis Karena...

Sungguh, jika kita menghitung nikmat-nikmat Allah pada diri, maka takkan sanggup kita menghitungnya. Dan yang seringkali terjadi, kita melupakan nikmat-nikmat itu, dan baru terasa begitu berharga ketika kita kehilangan nikmat tersebut.

Dikisahkan, seorang kakek berusia 70 tahun mengidap sebuah penyakit; dia tidak dapat kencing. Dokter mengabarkan kepadanya kalau dia membutuhkan operasi untuk menyebuhkan penyakitnya. Dia setuju untuk melakukan operasi karena penyakit itu telah menimbulkan sakit yang luar biasa selama berhari-hari.

Ketika operasi selesai, dokter memberikan tagihan pembayaran seluruh biaya operasi. Kakek tua itu melihat pada kuitansi dan mulai menangis. Melihatnya menangis dokter pun berkata kepadanya bila biayanya terlalu tinggi mereka dapat membuat pengaturan lain. Orang tua itu berkata, ”Saya tidak menangis karena uang itu, tetapi saya menangis karena Allah menjadikanku buang air (tanpa masalah) selama 70 tahun dan Dia tidak pernah mengirimkan tagihan.”

وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا

” Dan jika kamu menghitung ni'mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS Ibrahim [14] : 34)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan mengenai ayat tersebut di atas:

Allah memberitahukan, bahwa manusia tidak akan mampu menghitung berapa banyak nikmat Allah, apalagi mensyukurinya. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اللُّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ غَيْرُ مَكْفِيِّ وَلاَ مُزَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا

”Ya Allah bagimu segala puji, pujian yang tidak mencukupi tidak mungkin ditinggalkan dan selalu diperlukan, wahai Rabb kami.”

Dan diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Nabi Dawud alaihis salam berkata: “Ya Rabb, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan syukurku kepadamu itu adalah nikmat-Mu kepadaku?” Maka Allah berfirman: ”Sekarang engkau telah bersyukur kepadaku wahai Dawud.” Maksudnya (engkau telah bersyukur) ketika engkau telah mengetahui bahwa engkau tidak dapat memenuhi syukur yang sepatutnya kepada Pemberi nikmat.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ”Segala puji bagi Allah yang tidak dapat dipenuhi syukur atas salah satu nikmat yang telah diberikan-Nya itu, kecuali dengan nikmat baru yang harus diyukuri pula.”

Dia adalah Saudariku...!

Kisah berikut ini diambil dari buku Azzaman al-Qadim yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dibawakan oleh Muhammad Alshareef pada MYNA Zona East Conference. Sebuah kisah yang begitu menyentuh, untuk mengingatkan kita semua agar mensyukuri tarikan nafas kita pada hari ini dengan bersegera pada ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Karena esok, atau mungkin sesaat lagi, kita akan berlalu dari dunia ini, menuju kepada kebahagiaan abadi, atau siksa abadi....!
---------------------
Pipinya cekung, dan kulitnya membalut tulangnya. Hal itu tidak menghentikannya karena engkau takkan melihatnya tidak membaca Al-Qur’an. Dia selalu terjaga di ruang shalatnya yang ayah bangun untuknya. Ruku’, sujud, dan mengangkat tangannya ketika shalat, seperti itulah dia sejak fajar hingga matahari terbenam dan kembali lagi, kejenuhan itu untuk orang lain (bukan bagi dirnya).

Adapun aku, aku kecanduan tidak lain selain majalah fashion dan novel. Aku keranjingan video hingga perjalanan ke tempat sewa video menjadi trademark-ku. Ada sebuah pepatah bahwa jika sesuatu telah menjadi kebiasaan, orang-orang akan mengenalimu dengannya. Aku lalai dari kewajibanku dan shalatku ditandai dengan kemalasan.

Suatu malam, setelah tiga jam yang panjang menonton, aku mematikan vedio. Adzan dengan lembut membangunkan malam. Aku menyelinap dengan damai ke dalam selimutku.

Suaranya memanggilku dari ruang shalatnya. ”Ya? Kamu ingin sesuatu Noorah?” Tanyaku.
Dengan jarum tajam dia memecahkan rencanaku. ”Jangan tidur sebelum kamu shalat Fajar!”
Agghh! ”Masih ada waktu satu jam sebelum Fajar, Itu hanya Adzan pertama.” Kataku.

Dengan suaranya yang merdu dia memanggilku mendekat. Dia selalu seperti itu bahkan sebelum penyakit ganat itu mengguncangkan jiwanya dan menahannya di tempat tidur. ”Hanan, maukah kamu duduk di sisiku?”
Aku tidak pernah dapat menolak permintaannya, engkau dapat merasakan kemurnian dan keikhlasan pada dirinya. ”Ya Noorah?”
’Duduklah disini.”
”Baiklah, aku duduk. Apa yang kau pikirkan?”
Dengan suaranya yang manis dia membaca
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.” (QS Al-Imran [3] : 185)
Ia berhenti sambil berpikir. Kemudian ia bertanya, “Kamu percaya kematian?”
“Tentu saja.” Jawabku.
“Apa kamu percaya kamu akan bertanggungjawab terhadapa apapun yang kamu kerjakan, tidak perduli itu kecil atau besar?”
“Aku percaya, tetapi Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kehidpan masih panjang menantiku.”
“Hentikan Hanan! Apa kamu tidak takut dengan kematian dan kedatangannya yang tiba-tiba? Lihat Hind. Dia lebih muda darimu tetapi dia mati dalam kecelakaan mobil. Kematian buta terhadap usia dan umurmu tidak dapat mengukur kapan kamu akan mati.”

Kegelapan kamar itu memenuhi kulitku dengan ketakutan. “Aku takut gelap dan sekarang kamu menakutiku dengan kematian. Bagaimana aku bisa tidur sekarang? Noorah, kukira kamu sudah berjanji untuk pergi bersama selama liburan musim panas.”
Suaranya pecah dan hatinya gemetar “Aku mungkin akan menempuh perjalanan yang panjang tahun ini Hanan, tetapi di tempat yang lain. Kehidupan kita semua berada di tangan Allah dan kita semua adalah milik-Nya.”

Mataku basah dan air mataku mengalir di kedua pipiku. Aku memikirkan penyakit ganas saudariku. Dokter telah mengabarkan kepada ayahku secara pribadi, tidak banyak harapan Noorah dapat mengalahkan penyakitnya. Dia tidak diberitahu, saya jadi bertanya-tanya, siapa gerangan yang mengabarkan kepdanya. Atau apakah dia dapat merasakan kebenaran?

“Apa yang kamu pikirkan Hanan? Suaranya terdengar tajam. “Apa kamu mengira aku mengatakan ini hanya karena aku sakit? Aku harap tidak. Bahkan, aku mungkin hidup lebih lama dari orang-orang yang sehat. Berapa lama kamu akan hidup, Hanan? Mungkin dua puluh tahun? Mungkin empat puluh? Lalu apa?” Dalam gelap dia menyentuh tanganku dan menekannya lembut. “Tidak ada perbedaan antara kita. Kita semua akan pergi meninggalkan duniaini untuk tinggal di dalam Surga atau sengsara di dalam Neraka. 

Perhatikan firman Allah:
فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.” (QS Al-Imran [3] : 185)

Aku meninggalkan kamar saudariku dalam keadaan limbung, kata-katanya mengiang di telingaku, “Semoga Allah menunjukimu Hanan, jangan lupakan shalatmu.”

Aku mendengar gedoran di pintuku pada pukul delapan pagi. Aku tidak biasa bangun di waktu seperti ini. Ada tangisan dan kebingungan. Ya Allah, apa yang terjadi?

Kondisi Noorah menjadi kritis setelah Fajar, mereka segera membawanya ke rumah sakit.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Tidak akan ada perjalanan musim panas ini. Telah ditakdirkan aku akan menghabiskan musim panas di rumah.
Seolah waktu berlalu selamanya ketika tiba jam 1 siang. Ibu menelepon rumah sakit.
“Ya, kalian bisa datang dan menjenguknya sekarang.” Suara ayah berubah dan ibu dapat merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Kami segera berangkat.

Dimana jalan yang sering kulewati dan kukira sangat singkat? Mengapa ini terasa begitu lama? Dima keramaian dan lalu lintas yang selalu memberiku kesempatan untuk menoleh ke kiri dan ke kanan? Semua orang menyingkir dari jalan kami!

Ibu menggelengkan kepalanya dalam tangannya menangis ketika ia berdoa bagi Norah. Kami tiba di loby rumah sakit. Seorang laki-laki mengerang, sedangkan yang lainnya korban kecelakaan. Dan mata laki-laki ketiga terlihat sedingin es. Engkau tidak bisa memastikan apakah dia mati atau hidup.
Norah berada dalam ruang ICU. Kami menaiki tangga menuju ke lantai (kamar)nya. Suster mendekati kami, “Mari kuantarkan kepada Norah.”

Ketika kami berjalan sepanjang koridor, suster bercerita betapa manisnya Norah. Dia sedikit banyak meyakinkan ibu kalau keadaan Norah lebih baik daripada pagi tadi. “Maaf. Tidak boleh lebih dari satu orang pengunjung memasuki kamar.” Kata suster tersebut.

Ini adalah kamar ICU. Menatap ke arah jubah putih selembut salju, melalui jendela kecil di pintu, aku melihat mata saudariku. Ibu berdiri di sisinya. Setelah kurang-lebih dua menit, ibu keluar tak dapat menahan tangisnya. “Kamu boleh masuk dan mengucapkan salam kepadanya dengan syarat kamu tidak berbicara terlalu lama dengannya,” mereka berkata kepadaku. “Dua menit cukup”
“Bagaimana keadaanmu Norah? Kamu baik-baik saja semalam saudariku, apa yang terjadi?”
Kami berpengangan tangan, dia menekannya lembut. “Sekarang pun, alhamdulillah, aku baik-baik saja.”
“Alhamdulillah... tapi.. tanganmu sangat dingin.”
Aku duduk di sisi tempat tidurnya dan meletakkan tanganku di lututnya. Ia tersentak, “Maaf, sakit ya?”
“Tidak, hanya saja aku teringat firman Allah.”
وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ
“dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).” (Al-Qiyamah [75] : 29)
"Hanan doakan aku. Mungkin aku akan segera bertemu hari pertama dari hari akhirat (yakni di kuburan). Itu adalah perjalanan yang panjang dan aku belum mempersiapkan amalan yang cukup dalam perbekalanku.”
Sebutir air mata menitik dan meluncur ke pipiku mendengar kata-katanya. Aku menangis dan dia ikut menangis bersamaku. Ruangan menjadi kabur dan membiarkan kami dua bersaudara menagis bersama. 

Tetesan air mata jatuh ke telapak tangan saudariku, yang kugenggam dengan kedua tanganku. Ayah saat ini menjadi lebih khawatir kepadaku. Aku tak pernah mangis seperti ini sebelumnya.
Di rumah dan ditingkat atas di kamarku, aku menyaksikan matahari berlalu dengan hari yang penuh kesedihan. Kesunyian mengapung di koridor rumah kami. Secara bergiliran sepupu-sepupuku masuk ke kamarku. Banyak pengunjung dan semua suara bercampur baur di lantai bawah. Hanya satu hal yang jelas saat itu – Norah telah pergi!

Aku berhenti membedakan siapa yang datang dan siapa yang pergi. Aku tidak dapat mengingat apa yang mereka katakan. Ya Allah, dimana aku? Apa yang terjadi? Aku bahkan tidak dapat menangis lagi.
Beberapa hari kemudian mereka menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Ayah telah manarik tanganku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudariku untuk yang terakhir kalinya. Aku mencium kepala Norah.
Aku hanya teringat satu hal ketika menyaksikannya terbujur di tempat tidur – tempat dimana dia akan mati. Aku teringat ayat yang dibacanya:
“dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).”
Dan aku tahu pasti kebenaran ayat berikutnya:
إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau.” (QS Al-Qiyamah [75] : 30)
Aku menyusup ke ruang shalatnya malam itu. Menatap pada pakaian yang dian dan cermin yang bisu. Aku sungguh menjaga dia yang telah berbagi rahim ibuku denganku. Nora adalah sadara kembarku.
Aku teringat dia yang dengannya aku berbagi kesedihan, memberi ketenangan di hari-hari hujanku. Aku teringat dia yang berdoa agar aku mendapat petunjuk dan dia yang menitikkan begitu banyak air mata pada kebanyakan malam yang panjang mengingatkanku akan kematian dan hisab. Semoga Allah menyelamatkan kami semua.

Malam ini adalah malam pertama Norah yang harus ia lewatkan di kuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia dan terangilah kuburnya. Inilah Al-Qur’an dan sajadahnya. Dan inilah pakaian berwarna mawar musim semi yang dia katakan kepadaku akan disimpannya sampai dia menikah, pakaian yang hanya disimpannya untuk suaminya kelak.
Aku teringat saudariku dan menangisi semua hari-hari yang telah lalu. Aku berdoa kepada Allah agar melimpahkan rahmatnya kepada kami, menerima ibadahku dan mengampuniku. Aku berdoa kepada Allah untuk meneguhkan Norah di dalam kuburnya sebagaiamana yang selalu ia ucapkan di dalam doanya.
Pada saat itu, aku berhenti. Aku bertanya kepada diriku apa jadinya jika akulah yang mati. Kemana aku akan menuju? Ketakutan memenuhiku dan air mataku mulai mengalir lagi.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.... “Adzan pertama terdengar lembut dari masjid. Ia terdengar begitu indah kali ini. Aku merasa tenang dan nyaman ketika mengikuti bacaan muadzin. Kulilitkan syal di pundakku dan berditi untuk shalat Fajar. Aku shalat seolah itulah shalat terakhirku, shalat perpisahan. persis seperti apa yang Norah lakukan kemarin. Itu adalah shalat Fajar terakhirnya.

Kini, dan Insya Allah sepanjang sisa hidupku, jika aku bangun di pagi hari aku tidak lagi menganggap akan hidup hingga malam, dan di malam hari aku tidak menganggap akan tetap hidup di pagi hari. Kita semua akan menuju perjalanan Norah. Apa yang telah kita persiapkan untuknya?
(sumber: abdurrahman.org)

khayla.net

Jika Engkau Ingin Bermaksiat kepada Allah...

Jika engkau memenuhi lima syarat, perbuatan dosa tidak akan pernah membahayakanmu dan engkau dapat memenuhi hawa nafsumu sebanyak yang kau inginkan.
Dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah mendatangi Ibrahim bin Adam dan berkata, ”Wahai Abu Ishaq, aku terus-menerus mencelakai diriku, dan aku berpaling dari segala sesuatu yang mengajakku untuk memperbaiki hidupku.”
Ibrahim berkata: ”Jika engkau memenuhi lima syarat, perbuatan dosa tidak akan pernah membahayakanmu dan engkau dapat memenuhi hawa nafsumu sebanyak yang kau inginkan.”
”Beritahukan kepadaku syarat-syarat itu,” kata laki-laki itu.
”Yang pertama, jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, maka janganlah makan dari rizki (yang diberikan)-Nya.” kata Ibrahim.
”Lalu apa yang dapat kumakan, karena semua yang ada di di bumi adalah rizki dari-Nya?” kata laki-laki itu.
”Dengar,” Ibrahim berkata, ”Apakah masuk akal ketika engkau makan dari rizki-Nya sementara engkau bermaksiat kepada-Nya?”
”Tidak.” Kata laki-laki itu. ”Apa syarat yang kedua?”
”Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, maka janganlah hidup di atas tanah-Nya.” Kata Ibrahim.
”Ini bahkan lebih buruk dari yang pertama. Semua yang membentang di Barat dan di Timur adalah milik-Nya. Lalu dimana aku akan tinggal?”
”Dengar, ” Ibrahim berkata, ”Jika engkau terus-menerus durhaka kepada-Nya dan makan dari rizki-Nya dan tinggal di tanah-Nya, setidaknya carilah tempat dimana Dia tidak dapat melihatmu, dan bermaksiatlah kepada-Nya disana.”
”Wahai Ibrahim!” laki-laki itu berseru, ”Bagaimana aku dapat melakukannya, sedangkan Dia Maha Mengetahui bahkan rahasia terdalam yang ada dalam dada manusia? Apa syarat keempat?” Dia bertanya dengan nada putus asa.
”Bila malaikat maut datang untuk mengambil nyawamu, maka katakan kepadanya: ”beri aku tangguh, agar aku dapat melakukan taubat nasuha dan melakukan amal kebaikan.”
”Bila waktunya tiba, malaikat tak akan mengabulkan permohonanku.” kata laki-laki itu.
”Dengar,” Ibrahim berkata, ”Jika engkau tidak dapat menunda kematian untuk bertaubat, lalu bagaimana engkau berharap akan selamat?”
”Katakan kepadaku syarat yang kelima,” kata laki-laki itu.
”Bila malaikat penjaga neraka datang untuk membawamu pergi pada hari Kiamat, jangan pergi bersamanya.”
”Mereka tidak akan melepaskanku, ” seru laki-laki itu.
”Lalu bagaimana engkau berharap akan selamat?” tanya Ibrahim.
”Hentikan, hentikan! Itu cukup bagiku, ” kata laki-laki itu. ”Aku memohon ampun kepada Allah dan aku sungguh bertaubat kepada-Nya.”
Sejak hari itu, laki-laki itu kemudian menghabiskan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
Sumber: Story of Repentance oleh: Muhammad Abduh Maghawiri

Kisah Seuntai Kalung Mutiara

Judul Asli: The Pearl Necklace
Dinukil dari: ‘Gems and Jewels From the Salaf’


"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (QS Ar-Rahman : 60)

Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi al-Anshari tinggal di Makkah. Setelah melewati waktu yang lama tanpa makanan lebih dari apa yang bisa ditahannya dia menjadi kelaparan dan tidak ada sesuatu yang dapat ditemukan untuk menghilangkan rasa laparnya. Ketika ia berjalan di kota Makkah memikirkan keadaannya, ia menemukan sebuah sebuah tas sutera yang diikat oleh tali sutera pula. Lalu ia mengambilnya dan membawanya pulang ke rumah. Disana ia membuka tas tersebut dan mendapatkan seuntai kalung mutiara yang tidak pernah ia lihat yang seindah dan dan bernilai seperti kalung itu selama hidupnya.

Namun, jika dia merasa begitu bergembira menemukan barharga berharga seperti itu, kegembiraan itu seketika menghilang, karena ketika ia keluar ke jalan, ia bertemu dengan seorang tua yang mengumumkan bahwa ia telah kehilangan sebuah tas sutera yang berisi kalung yang sangat berharga. Orang tua tersebut berkata bahwa tersedia hadiah sebesar 500 dinar bagi orang yang mengembalikan tas beserta kalung itu. Banyak orang telah diuji dengan tes serupa (maksudnya pencarian kalung tersebut -pent) mengalami kegagalan, khususnya orang-orang miskin dan orang-orang sangat tergoda dengan nilai benda tersebut. Namun tidak demikian halnya dengan Imam Abu Bakar. Bukannya memikirkan keadaan dirinya, mengajak orang tua itu ke rumahnya dan memintanya untuk menggambarkan tas tersebut, tali pengikat tas, mutiara, serta rantai pengikat mutiara tersebut. Orang tua itu tentu saja memberikan gambaran yang tepat mengenai segala hal, sehingga Imam Abu Bakar mengambil benda yang hilang tersebut dan memberikan kepadanya.

Orang tua itu segera mengambil uang 500 dinar dan mencoba memberikannya kepada Imam Abu Bakar. Namun Imam Abu Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa adalah kewajibannya dalam agama untuk mengembalikan barang yang hilang tersebut dan oleh sebab itu tidak pantas baginya untuk mengambil hadiah setelah memenuhi kewajiban tersebut. Orang tua tersebut berusaha untuk memaksa selama beberapa saat, akan tetapi Imam Abu Bakar bersikeras bahwa ia tidak akan mengambil uang itu.

Orang tua itu pun kemudian pamit dan pergi.

Tidak lama setelahnya, Imam Abu Bakar berpikir untuk mencari kehidupan yang lain dan sumber penghidupan yang baru, ia meninggalkan kota Makkah dan menjadi penumpang sebuah Kapal. Dalam perjalanannya, kapal tersebut tenggelam. Dan sebagai akibatnya banyak orang yang meninggal, tenggelam besama kapal ke dasar laut. Kapal tersebut pecah berkeping-keping, dan dengan susah payah Imam Abu Bakar berhasil berpengangan pada salah satu potongan kapal dan tetap mengapung. Ia terus berpegangan pada potongan kapal tersebut selama waktu yang panjang dan ketika ia terdampar pada sebuah pulau yang berrpenghuni, ia tidak mengingat berapa lama ia telah mengapung sendirian di tengah laut.

Sebagai orang baru di pulau itu, ia tidak mengenal seorang pun, dan ia membutuhkan tempat untuk beristirahat dan memulihkan dirinya. Ia duduk di sebuah Masjid. Ketika duduk di dalam masjid sambil membaca Al-Qur’an banyak orang yang mendengarkan dan mendekatinya, memintanya untuk mengajarkan Al-Qur’an. Dia merasa sangat gembira mengajar mereka. Dan sebagai balasan atas jasanya (mengajar) mereka membayarkan dengan sejumlah besar uang. Kemudian dia menemukan mushaf Al-Qur’an. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk membaca langsung dari Al-Qur’an dan tidak sekedar membacanya berdasarkan ingatannya.

Ternyata setidaknya sebagian besar penduduk pulau tersebut buta huruf. Melihat ia bisa membaca, pemimpin orang-orang itu mendekatinya dan bertanya apakah dia dapat menulis. Dia membenarkannya. Maka orang-orang itu pun berkata; ”Ajarilah kami menulis.” Mereka kemudian membawa anak-anak dari segala umur kepadanya dan dia kemudian menjadi guru mereka. Dan dia (imam Abu Bakar) kembali mendapat bayaran yang sangat besar.

Merasa senang dengan kepribadian dan ilmu sang pendatang baru, pemimpin pulau itu mendekatinya dan berkata: ”Diantara kami hidup seorang gadis muda yatim yang kaya, dan kami ingin engkau menikahinya.” Pada awalnya Imam Abu Bakar menolaknya namun mereka terus memaksanya. Akhirnya ia menyerah dan setuju untuk menikahi gadis itu.

Pada hari pernikahannya, pemimpin pulau itu menghadirkan pengantin kehadapan Imam Abu Bakar. Dengan sorot mata penuh takjub, ia mulai menatap pada kalung yang dikenakan gadis itu. Begitu lama ia terpaku menatapnya hingga pemimpin pulau itu berkata: ”Engkau telah menyakiti hati gadis ini, karena bukannya menatapnya engkau malah menatap kalungnya.”

Imam Abu Bakar kemudian menceritakan kisahnya dengan seorang laki-laki tua di Makkah. Orang-orang yang hadir lalu bersyahadat dan bertakbir. Suara mereka begitu keras hingga dapat terdengar oleh seluruh penghuni pulau tersebut.

Imam Abu Bakar berkata, ”Ada apa dengan kalian?”

Mereka berkata: ”Orang tua yang mengambil kalung itu darimu adalah ayah dari gadis ini dan ia selalu berkata: ’Saya belum pernah menemukan seorang Muslim yang sejati dan ikhlas di dunia ini kecuali orang yang mengembalikan kalung ini’, dan dia selalu berdoa: ”Ya Allah, pertemukanlah aku dengan laki-laki itu agar aku dapat menikahkan puteriku dengannya.’” Dan kini, hal tersebut menjadi kenyataan.

Imam Abu Bakar tetap hidup manakala isteri dan anak-anaknya meninggal, dan mewarisi kalung tersebut. Dan kemudian dia menjualnya seharga 100.000 dinar. Ia menjadi seorang yang kaya raya di akhir hidupnya.

Dr. Saleh As-Saleh dalam audio lecture beliau juga membacakan kisah ini. Beliau berkata bahwa ini adalah sebuah kisah yang menakjubkan yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam komentarnya terhadap biografi Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi (wafat 535 H) dalam Tahabaqat al-Hanabilah, sebagaimana yang dikisahkan Al-Qadhi Abu Bakar kepada Al-Baghdadi.

Audio lecture dari Dr. Saleh as-Saleh bisa anda simak di bawah ini:
The Pearl Necklace 

Aku Masuk Neraka karena Tiga

Dikisahkan bahwa salah seorang murid Fudhail bin Iyad mendekati sakaratul maut, maka Fudhail mendatanginya, ia duduk di dekat kepalanya dan mulai membaca surat Yasin.

Muridnya berkata, “Wahai guruku, janganlah membacanya.”

Maka dia pun diam. Kemudian dia mencoba membimbingnya untuk mengucapkan syahadat, dia berkatan ”Ucapkanlah Laa ilaaha illa Allah.”

Dia (muridnya) berkata, ”Aku tidak akan mengatakannya karena aku berlepas diri darinya.” Dia mati di atas perkataan itu.

Fudhail pulang ke rumahnya, dia menangis selama empat puluh hari, tidak meninggalkan rumahnya. Dia melihat muridnya di dalam mimpi diseret ke dalam neraka, dia berkata kepada muridnya: ”Dengan apa Allah menghilangkan pengetahuanmu darimu, padahal kamu salah seorang muridku yang paling berilmu?”

Dia menjawab: ”Dengan tiga hal;

Pertama: Namimah,

Kedua: Iri hati

Ketiga: Aku memiliki penyakit, maka aku mengunjungi dokter dan bertanya kepadanya mengenai penyaktiku. Dia memberitahuku bahwa aku harus minum secangkir khamr satu kali setiap tahun, jika tidak maka penyakit itu akan tetap bersamaku, maka aku pun terbiasa meminumnya.”

Nasihat Salamah bin Dinar kepada Khalifah

Pada tahun 97 H, khalifah Muslimin Sulaiman bin Abdul Malik menempuh perjalanan ke negeri yang disucikan, memenuhi undangan bapak para Nabi, yakni Ibarhim ualaihis salam Iring-iringan itu bergerak dengan cepat dari Damaskus, ibukota kekhalifahan Umawiyah, menuju Madina al-Munawarah.

Ada rasa rindu pada diri khalifah di raudhah nabawi yang suci dan rindu untuk mengucapkan salam atas Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rombongan tersebut disertai para ahli qurra’ (Ahli al-qur’an), muhadditsin (ahli hadits), fuqaha (ahli fiqih), ulama, umara dan para perwira.

Setibanya khalifah di Madinah dan menurunkan perbekalan, orang-orang dari para pemuka Madinah menghampiri mereka untuk mengucapkan salam dan menyambut kedatangan khalifah.

Akah tetapi Salamah bin Dinar sebagai qadhi dan imam kota yang terpercaya, ternyata tidak termasuk ke dalam rombongan manusia yang turut menyambut dan mengucapkan salam kepada Khalifah.

Setelah selesai melayani orang-orang yang menyambutnya, Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada orang-orang yang dekat dengannya, “Sesungguhnya hati itu bisa berkarat dari waktu ke waktu sebagaimana besi bila tidak ada yang mengingatkan dan membersihkan karatnya. Mereka berkata, “Benar, wahai amirul mukminin.” Lalu beliau berkata, “Tidak adakah di Madina ini seseorang yang bisa menasihati kita, seseorang yang pernah berjumpa dengan para sahabat Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ada wahai amirul mukminin, di sini ada Abu Hazim al-A’raj.”

Beliau bertanya, “Siapa itu Abu Hazim?” Mereka menjawab, “Dialah Salamah bin Dinar, seorang alim, cendekia dan imam di kota Madinah. Beliau termasuk saslah satu tabi’in yang pernah bersahabat baik dengan beberapa sahabat utama.” Khalifah berkata, “Kalau begitu panggilah beliau kemari, namun berlakulah sopan kepada beliau.”

Para pembantu khalifah pun pergi memanggil Sulaiman bin Dinar.

Setelah Abu Hazim datang, khalifah menyambut dan membawanya ke tempat pertemuannya.

Khalifah: “Mengapa anda demikian angkuhnya terhadapku, wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Angkuh yang bagaimana yang anda maksud dan anda lihat dari saya wahai Amirul Mukminin?”

Khalifah: “Semua tokoh Madinah datang menyambutku, sedang anda tidak menampakkan diri sama sekali.”

Abu Hazim: “Dikatakan angkuh itu adalah setelah perkenalan, sedangkan anda belum mengenal saya dan sayapun belum pernah melihat anda. Maka keangkuhan mana yang telah saya lakukan?”

Khlaifah: “Benar alasan syaikh dan khalifah telah salah berprasangka. Dalam benakku banyak masalah yang ingin aku utarakan kepada anda wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Katakanlah wahai Amirul Mukminin, Allah tempat memohon pertolongan.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim mengapa kita membenci kematian?”

Abu Hazim: “Karena kita memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita. Akhirnya kita benci keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”

Khalifah; “Anda benar wahai Abu Hazim. Apa bagian kita di sisi Allah kelak?”

Abu Hazim: “Bandingkan amalan anda dengan kitabullah, niscaya anda bisa mengetahuinya.”

Khalifah: “Dalam ayat yang mana saya dapat menemukannya?”

Abu Hazim: “Anda bisa temukan dalam firman-Nya yang suci:

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh keni'matan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (S Al-Infitar [82] : 13-14)

Khslifah: “Jika demikian, dimanakah letak rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala?”

Abu Hazim: (membaca firman Allah):

إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah itu amat dekat dengan mereka yang berbuat kebajikan.” (QS Al-A’raf [7]: 56)

Khalifah: “Lalu bagaimana kita menghadap Allah kelak, wahai Abu Hazim?”

Abu Hazim: “Orang-orang yang baik akan kembali kepada Allah seperti perantau yang kembali kepada keluarganya, sedangkan yang jahat akan datang seperti budak yang curang atau lari lalu diseret kepada majikannya yang keras.”

Khalifah menangis mendengarnya sampai keluar isaknya, kemudian berkata...
Khalifah: “Wahai Abu Hazim, bagaimana cara memperbaiki diri?”

Abu Hazim: “Dengan meninggalkan kesomobngan dan berhias dengan muru’ah (menjaga kehormatan).”

Khalifah: “Bagaimana memanfaatkan harta benda agar ada nilai takwa kepada Allah I?”

Abu Hazim: “Bila anda mengambilnya dengan cara yang benar dan meletakkannya di tempat yang benar pula lalu anda membaginya dengan merata dan berlaku adil terhadap rakyat.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, jelaskan kepadaku siapakah manusia yang paling mulia itu?”

Abu Hazim: “Yaitu orang-orang yang menjaga muru’ah dan bertakwa.”

Khalifah: “Lalu perkataan apa yang paling besar manfaatnya?:”

Abu Hazim: “Perkataan benar, yang diucapkan di hadapan orang yang ditakuti dan diharapkan bantuannya.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, doa manakah yang paling mustajab?”

Abu Hazim: “Doa orang-orang baik untuk orang-orang baik.”

Khalifah: “Sedekah manakah yang paling utama?”

Abu Hazim: “Sedekah dari orang yang kekurangan kepada orang yang membutuhkan tanpa menggerutu dan kata-kata yang menyakitkan.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, siapakah orang yang paling dermawan dan terhormat?”

Abu Hazim: “Orang yang menemukan ketaatan kepada Allah I lalu diamalkan dan diajaarkan kepada orang lain.”

Khalifah: “Siapakah orang yang paling dungu?”

Abu Hazim: “Orang yang terpengaruh oleh hawa naafsu kawannya, padahal kawannya tersebut oran gyang dzalim. Maka pada hakikatnya dia menjual akhiratnya untuk kepentingan dunia yang lain.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, maukah engkau mendampingi kami agar kami bisa mendapatkan sesuatu darimu dan anda mendapatkan sesuatu dari kami?”

Abu Hazim: “Tidak, wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah: “Mengapa?”

Abu Hazim: “Saya khawatir kelak akan condong kepada anda sehingga Allah I menghukum saya dengan kesulitan di dunia dan siksa di akhirat.”

Khalifah: “Utarakanlah kebutuhan anda kepada kami wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim tidak menjawab sehingga Khalifah mengulangi pertanyaannya: “Wahai Abu Hazim, utarakan hajat-hajatmu, kami akan memenuhi sepenuhnya..”

Abu Hazim: “Hajat saya adalah selamat dan masuk surga.”

Khalifah: “Itu bukan wewenang kami, wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Saya tidak memiliki keperluan selain itu wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, berdoalah untukku.”

Abu Hazim: “Ya Allah bila hamba-Mu Sulaiman ini adalah orang yang Engkau cintai, maka mudahkanlah jalan kebaikan baginya di dunia dan di akhirat. Dan jika dia termasuk musuh-Mu,maka berilah dia hidayah kepada apa yang Engkau sukai dan Engkau ridhai. Amon.”

Salah satu hadirin berkata: “Alangkah buruknya perkataanmu tentang Amirul Mukminin. Engkau sebutkan khalifah muslimin barangkali termasuk musuh Allah I? Kamu telah menyakiti perasaannya.

Abu Hazim: “Justru perkataanmu itulah yang buruk. Ketahuilah bahwa Allah telah mengambil janji dari para ulama agar berkata jujur:

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,"” (QS Al-Imran [3] : 187)

Beliau menoleh kepada Khalifah seraya berkata: “Wahai Amirul Mukminin, umat-umat terdahulu tinggal dalam kebaikan dan kebahagiaan selama para pemimpinnya selalu mendatangi ulama untuk mencari kebenaran pada diri mereka. Kemudian muncullah kaum dari golongan rendah yang mempelajari berbagai ilmu mendatangi para amir untuk mendapatkan suatu kesenangan dunia. Selanjutnya para amir itu tidak lagi menghiraukan perkataan ulama, mereka pun menjadi lemah dan hina di mata Allah I. Seandainya segolongan ulama itu tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi para amir, tentulah amir-amir tersebut akan mendatangi mereka untuk mencari ilmu. Tetapi karena para ulama menginginkan apa yang ada di sisi para amir, maka para amir tak mau lagi menghiraukan ucapannya.”

Khalifah: “Anda benar. Tambahkanlah nasihat untukku wahai Abu Hazim, aku benar-benar tidak mendapati hikmah yang lebih dekat dengan lisannya daripada anda.”

Abu Hazim: “Bila anda termasuk orang yang suka menerima nasihat, maka apa yang saya utarakan tadi cukuplah sebagai bekal. Tetapi bila tidak dar golongan itu, maka tidak perlu lah aku memanah dari busur yang tak ada talinya.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, aku berharap anda mau berwasiat kepadaku.”

Abu Hazim: “Baiklah, akah saya katakan dengan ringkas. Agungkanlah Allah I dan jagalah jangan sampai Dia melihat anda dalam keadaan yang tidak disukai-Nya dan tetaplah anda berada di tempat yang diperintahkan-Nya.”

Setelah itu Abu Hazim mengucapkan salam dan mohon diri. Khalifah berkata, “Swmoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai seorang alim yang suka menasihati.”

Sumber: Suwaru min Hayaati at-Tabi’in (edisi Indonesia), Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, At-Tibyan, hal. 163-168)

khayla.net

Buah Istigfar

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Hasan al-Bashri, seorang Tabi’in uang mulia, dan mengeluhkan kemiskinan kepadanya. Maka dia berkata kepada laki-laki itu, ‘Mohonlah ampun kepada Allah.’ Seorang laki-laki lain datang kepadanya mengeluhkan bahwa dia tidak mempunyai anak. Maka Hasan al-Bashri berkata kepadanya, ‘Mohonlah ampun kepada Allah.’ Laki-laki ketiga datang kepadanya mengeluhkan kekosongan kebunnya. Maka dia berkata kepada laki-laki itu, ‘Mohonlah ampun kepada Allah.’ Kemudian beliau membacakan kepada mereka firman Allah I:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً
يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَللَّكُمْ أَنْهَاراً
“Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71] : 10-12)
Referensi: The Most Excellent Manner in Asking Forgivenes (Afdhalul Istighfar). Syaikh Abdur Razak bin Muhisin Al-Abbad.

khayla.net

Penjelasan tentang Hadits Pengharaman Alat-alat Musik

OLeh: Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Dari hadits Ali, Imran bin Husain, Abdullah bin Bisr, Sahl bin Sa’d, Anas bin Malik dan Aisyah radiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wasallam :

۹١- لَيَكُوْ نَنَّا مِنْ اُمَّتِىْ اَقْوَامٌ مِنْ يَسْتَحِلُّوْنَالْحِرَّوَ الْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازْفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ اَقْوَامٌ اِلٰى جَنْبِ عَلَمٍ ، يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ بِحََاجَةٍ ، فَيَقُوْلُوْنَ : اِرْجِعْ اِلَيْنَا غَدً ، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ ، وَيَضَعُ الْعِلمَ ، وَيَمْسَخُ اٰخِرِيْنَ قَرَدَةً وَخَنَازِيْرَ اِلٰى يَوْمِ الْقِيَامَةِ .
Benar-benar akan ada kelompok umatku yang menghendaki halalnya seks (zina), sutera, khamer dan alat-alat musik. Dan akan ada masyarakat yang turun di samping gunung yang menjulang, dimana seorang penggembala ternak mereka kembali di sore hari dan datang kepada mereka untuk suatu keperluan namun mereka berkata, :Kembalilah kepada kami besok pagi.” Kemudian Allah menghancurkan mereka di waktu malam, menimpakan gunung itu kepada mereka, dan mengubah rupa lainnya menjadi kera dan babi sampai hari kiamat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab
Shahih-nya (4/30).

Kosa Kata Hadits
Kata al-hira berarti zina (melacur).
Kata al-mu’azif merupakan bentuk plural dari kata ma’zifah, yang berarti alat-alat musik, dan alat-alat yang dapat menjauhkan seseorang dari ibadah kepada Allah I seperti yang dijelaskan di dalam Al-Fath.
Kata alam berarti gunung yang menjulang.
Kata yaruhu’alaihim (ia membawa pulang atau mengistirahatkannya kepada mereka) terhadap pembuangan subyek, yaitu berupa penggembala, hal ini dapat diamati dari rangkaian kalimat selengkapnya, sebab adanya binatang gembala pasti ada penggembalanya.
Kata sarihah berarti binatang yang digembalakan di waktu pagi dan dibawa pulang di waktu sore hari di kandangnya.
Ya’tihim lihajatin, riwayat lain sebagaimana di dalam mustkhrajah ash-shahih menyebutkan ya’tihim thalibu hujatin.
Wayadha’ul ‘alam berarti Allah menjatuhkan gunung di atas mereka.

Kandungan Hadits dalam hal Pengharaman Musik

Diharamkannya alat-alat musik. Hadits ini menunjukkan hal tersebut dari beberapa segi:
a. Kalimat yastahilluna [mereka menghendaki dihalalkannya (alat-alat musik itu)]. Kalimat itu jelas menunjukkan bahwa alat-alat musik itu sebenarnya menurut syara’ diharamkan. Sedang mereka menghendaki dihalalkan.

b. Kata yang menunjukkan alat-alat musik itu disertakan dengan hal lain yang diharamkan, yaitu zina dan khamer. Seandainya alat-alat itu tidak diharamkan, maka kemungkinan tidak akan disebut bersamanya.

Banyak hadits-hadits yang menjelaskan haramnya alat-alat musik tersebut yang saat ini banyak di kenal, seperti drum, biola, piano, dan lain-lain. Sebagian hadits-hadits itu bernilai shahih serta tidak ada hadits lain yang berlawanan dan menyempitkan maknanya, kecuali rebana yang dipakai pada saat pernikahan atau hari raya. Alat yang disebut terakhir ini halal dengan alasan terperinci yang banyak dipaparkan dalam buku-buku fiqh. Saya juga telah menjelaskannya pada saat saya menyanggah pendapat Ibnu Hazem. Oleh karena itu semua imam pemilik mazhab sepakat mengharamkan semua jenis alat musik. Ada di antara mereka yang mengecualikan kendang (Drum Band) yang dipakai pada saat perang, seperti yang sekarang dikenal di dunia militer. 
Namun pendapat itu tidak bisa dipakai sama sekali, karena beberapa alasan :
1. Hal itu merupakan pengkhususan (penyempitan) terhadap makna hadits di atas, padahal tidak mukhashish-nya (yang mengkhususkan), kecuali hanya pendapat rasio semata, yakni istihsan. Hal ini jelas tidak bisa dipakai.

2. Bahwa yang diwajibkan bagi kaum musimin pada saat berperang adalah selalu mengingat Allah (berkonsentrasi penuh kepada-Nya) dan senantiasa memohon kemenangan dari-Nya. Sebab hal ini lebih mendukung konsentrasi mereka dan lebih meneguhkan hati. Padahal pemakaian alat musik justeru akan membuyarkan perhatian mereka, sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الانفل : ٤٥)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS Al-Anfal : 45)

3. Pemakaian alat-alat itu adalah tradisi orang-orang non muslim (yang tidak beriman kepada Allah sama sekali, tidak percaya adanya hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan tidak memegangi agama yang benar). Oleh karena itu kita tidak boleh meniru mereka, apalagi pada hal yang jelas diharamkan oleh Allah secara umum, seperti alat-alat musik tersebut.

Pembaca jangan terpengaruh dengan pendapat sementara pakar hukum Islam yang menghalalkan alat-alat musik. Sebenarnya orang itu hanya mengikuti saja apa yang didengarnya dari orang lain, sebab hadits di atas menurutnya dha’if. Padahal seperti anda ketahui bahwa hadits itu adalah shahih. Ibnu Hazem sendiri memang kurang mendalam dan kurang hati-hati dalam menilai suatu hadits. Dan menurut saya orang yang berani mengemukakan bahwa alat-alat musik itu halal adalah orang yang tidak mengikuti pendapat salah satu dari empat imam mazhab. Seandainya orang itu berdalih bahwa pendapatnya itu merupakan penyelesaian suatu masalah hukum secara ilmiah, maka tidak bisa dibernarkan. Sebab yang dimaksud menyelesaikan masalah secara ilmiah dalam persoalan ini adalah meneliti hadits-hadits tentang masalah yang dibahasnya, kemudian diputuskan shahih tidaknya. JIka telah terbukti shahih, maka dipelajari lebih lanjut kandungan hukum yang sebenarnya dengan melihat hadits lain, yang mempersempit maknanya, atau mendukungnya, atau justeru berlawanan. Inilah yang sesuai dengan kaidah (prinsip-prinsip) menentukan hukum Islam. Jika orang itu mau menempuh cara-cara itu, maka tentu sulit bagi orang lain untuk mengkritiknya dari segi apapun. Tetapi orang itu tidak melakukan apapun di antara langkah-langkah tersebut. Jika mereka mempunyai suatu masalah, mereka hanya melihat pendapat ulama dan hanya mencari hukum yang paling ringan dan paling mudah dilakukan. Seharusnya mereka meneliti lebih jauh lagi, sesuai atau tidak dengan Al-Qur’an maupun hadits.
Oleh karena itu seorang muslim hendaknya mengetahui agamanya benar-benar dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan dari pendapat seseorang semata. Sebab kebenaran tidak mengenal tokoh, akan tetapi dengan melihat kebenaran yang diketahui, maka kapasitas seorang tokoh dapat diketahui. 

Saya sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh salah seorang penyair:
Ilmu adalah apa yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan oleh Rasul-Nya, apa yang dikatakan oleh sahabat tidak disembunyikan. Ilmu bukanlah pertentangan yang Anda tegakkan antara Rasul dan pendapat pribadi, karena Anda tidak mengetahui yang sebenarnya. Jangan seperti itu, jangan menafikan sifat dan tidak mengakuinya karena khawatir menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

***Dikutip dan diringkas dari Silisilah Hadits Shahih (Buku I), hadits no. 91, Penerbit Pustaka Mantiq

Potret Kehidupan Keluarga Syaikh Ibnu Baz

SYEIKH IBNU BAZ Rahimahulloh Ta’ala DALAM KELUARGA


Segala puji hanya milik Alloh Rabb semesta alam, Sholawat serta salam selalu tercurah pada Nabi kita Muhammad Sholallohu alaihi wa sallam, keluarga beliau, seluruh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu baz dengan keluasan rahmatNya dan menempatkannya pada surgaNya yang luas. Beliau adalah salah satu orang yang memiliki keistimewaan dengan sifat-sifat yang terpuji, perangai yang mulia, akhlak yang indah, tindak-tanduk yang baik, dan perasaan rendah hati yang besar. Beliau juga adalah salah satu orang yang patut untuk diikuti dalam adab, ilmu, akhlak dan sifatnya. Petunjuk beliau terbangun di atas kitabullah dan sunnah Rasul yang mulia. Terlebih lagi dalam hal kezuhudan, ibadah, amanah, kejujuran, penyandaran dan ketundukkan diri kepada Alloh. Juga dalam hal perasaan takut beliau kepada Alloh, kemurnian hatinya, kedermawanannya, baiknya pergaulan, cara dalam mengikuti sunnah Para salafusholih dan banyaknya ibadah beliau. Maka semoga Alloh merahmati beliau dan menjadikan surga firdaus menjadi tempat kembali beliau.

Dan sebagai ibrah bagi diriku dan saudara sekalian, saya akan berbicara tentang jalan hidup Imam Ibnu Baz rahimahulloh bersama keluarga dan kerabat-kerabat beliau, dengan menukil dari beberapa perkataan beliau yang tercantum dalam kitab “ Imam besar kaum muslimin pada abad ke dua puluh” (1/ 24-26/ cet. Pustaka ArRayyan)

Syeikh Ibnu Baz wafat meninggalkan kedua istrinya:

* Istri pertamanya : Ummu abdillah (Beliau menganjurkan kepada syaikh untuk menikah kembali karena beliau tidak mampu mengabdi kepada syeikh di usianya yang sudah tua)
* Istri keduanya : Ummu Ahmad

Beliau Rahimahulloh juga memiliki 4 anak laki-laki dan 6 anak perempuan:

Anak laki-laki beliau:

* Dari istri pertama : Abdurrahman ( dengan nama ini syaikh memakai kunyah) dan Abdullah
* Dari istri kedua : Ahmad dan Kholid

Anak perempuan beliau: Saroh, Hindun, Mudhowy, Jauharoh, Haya’, Nauf.

Seluruh anak perempuan beliau menikah, adapun riwayat yang dinukil darinya bahwa anak perempuan beliau yang paling muda bernama Nada atau huda yang berumur 10 tahun maka itu tidak benar.

Maka, saya di sisni akan memulai menyebutkan sebagian perkataan anggota keluarga dan para kerabat beliau dengan memohon bantuan dari Allah Taala.

Abdullah (Anak laki-laki beliau yang paling besar)

Pertanyaan: Dengan kesibukan beliau, bagaimana beliau memilih waktu yang tepat untuk anggota keluarga, amak-anak dan cucu beliau rahimahulloh?

Jawab: Beliau rahimahullah mengkhususkan dua hari dalam seminggu, salah satu harinya beliau berikan untuk laki-laki dari anak-anak, cucu dan anggota keluarga beliau rahimahulloh, dan hari yang lain untuk wanita dari anak-anak, istri-istri, cucu dan anggota keluarga beliau rahimahulloh. Beliau duduk bersama mereka, berbicara kepada mereka semua dalam segala aspek perkara kehidupan, umum dan perkara dien. Beliau memberikan pengarahan dalam segala hal yang memiliki kebaikan dan kemaslahatan umum bagi anggota keluarga. Apabila ada masalah pada sebagian anggota keluarga, maka beliau menunda penyampaian karena kemurahan beliau dan menentukannya pada waktu yang tepat. Beliau mendidik Keluarganya yang kecil dengan hati-hati dan kasih sayang, sedang keluarga muslimah yang besar, beliau didik tanpa membeda-bedakan mereka. Beliau selalu berhati-hati dalam setiap perkara.

Abdurrahman (Anak laki-laki beliau yang kedua)

Pertanyaan: Apakah beliau dahulu memiliki nasehat-nasehat khusus yang beliau kemukakan kepada anda atau kepada anak-anak beliau?

Jawab: Beliau banyak memberikan nasehat keagamaan kepada kami sebagaimana halnya kepada setiap orang yang menemuinya, beliau juga selalu memfokuskan untuk memperhatikan masalah sholat dan menuntut ilmu.

Pertanyaan : Bagaimana pandangan beliau tentang pendidikan putri-putrinya?

Jawab: Alhamdulillah, setiap anak syaikh dan cucu-cucu beliau mendapatkan pendidikan yang cukup, bahkan sebagian dari mereka dapat menempuh pendidikan universitas. Dan beliau dikenal memiliki semangat dalam mengajari mereka.

Pertanyaan: Berapa kali ayah anda (syeikh Ibnu Baz) berhaji ?

Jawab : Beliau berhaji sebanyak 60 kali

Syeikh Ahmad (putra ketiga Syaikh Ibnu Baz)

Pertanyaan : Bagaimana pendapat Anda terhadap sikap beliau tentang kakak dan saudara kandung beserta anak-anaknya ?

Jawab : Ayahanda –semoga Allah merahmati beliau- dahulu berziarah dan menelpon mereka, tidak berselang satu atau dua hari kecuali ayah berziarah kepada mereka meskipun ayahanda banyak kesibukan. Ayahanda dan paman memiliki hubungan kecintaan dan penghormatan yang kuat.

Pertanyaan : Dahulu sebagian besar waktu beliau banyak bersama orang, apakah beliau sempat makan bersama keluarga ?

Jawab : Beliau makan bersama keluarga hanya makan malam saja itupun kadang-kadang ketika beliau mengumpulkan keluarga dalam acara mingguan.

Ummu Abdillah ( istri beliau )

Pertanyan : Beliau memiliki dua istri, bagaimana beliau berbuat adil antara keduanya? Dan apa cara beliau untuk menyatukan hati hati anak-anak beliau ?

Jawaban : Beliau sangat bersemangat untuk selalu berbuat adil dalam segala sesuatu, baik dalam pemberian nafkah, jatah menginap dan dalam semua hal. Begitu pula dalam masalah berhaji. Saya pernah berhaji pada suatu tahun bersama beliau, dan pada tahun yang lain beliau berhaji bersama istri yang lain. Adapun kepada anak-anak, beliau selalu memotivasi mereka untuk saling menyambung silaturahmi dan saling berziarah.

Ummu Ahmad ( istri beliau )

Pertanyaan : Dalam pertemuan keluarga, apakah beliau mengkhususkan urusan keluarga saja atau urusan keluarga dan agama?

Jawab : Dalam pertemuan-pertemuan keluarga beliau biasa meminta beberapa putra beliau untuk membaca al qur’an kemudian beliau mentafsirkan beberapa ayat yang mudah. Setelah itu mereka mengajukan pertanyaan, permasalahan dan penjelasan kepada beliau dan lain sebagainya.

Sarah ( Putri beliau yang tertua )

Pertanyaan : Diantara sikap beliau didalam pendidikan yang banyak anda dapatkan, apakah anda ingat cara mendidik beliau yang berpengaruh pada anda dan anda berusaha untuk menerapkannya pada putra-putri anda ?

Jawab : Tidak mungkin untuk membatasi sisi tertentu dalam sikap beliau dalam pendidikan, yang mana kehidupan beliau –semoga Allah mengampuni beliau- bersama kami semuanya adalah cerminan dari pendidikan dan arahan beliau, akan tetapi diantara hal yang penting untuk disebutkan disini adalah semangat beliau dalam mengarahkan kami semenjak dini untuk selalu menunaikan sholat tepat pada waktunya. Beliau terus menerus mengawasi keistiqomahan kami dalam hal itu, baik anggota keluarga yang besar atau yang kecil. Alhandulillah saya bersemangat dalam mendidik anak-anak saya seperti cara beliau, dan Alhamdulillah saya bisa melakukan hal itu dengan pertolongan Allah. Putra saya yang paling kecil yaitu Abdul Aziz yang sekarang berumur 9 tahun Alhamdulillah tidak pernah terlewatkan sholat wajibnya sejak kurang lebih dua tahun lalu.

Jauharoh ( putri beliau )

Pertanyaan : Apa metode ayahanda yang mulia dalam masalah sholat ketika kalian masih kecil, dan sejak umur berapa beliau mulai membangunkan kalian untuk sholat fajar ?

Jawab : Beliau memulai pada saat kami berumur 7 tahun, beliau selalu memerintahkan untuk sholat dan menyampaikan tentang keutamaannya serta selalu memperingatkan supaya tidak melalaikan dan terlambat mengerjakannya, beliau mengatakan bila saya terlambat mengerjakannya : ‘ Berta’awudlah “.

Sepertinya dahulu aku pernah meninggalkannya, aku ingat, ketika aku kecil aku lupa mengerjakan sholat dhuhur dan ashar. Ketika beliau tahu hal itu beliau sangat marah dan berkata kepadaku :” Kalau kamu mendengar adzan bersegeralah mengerjakan sholat, bila kamu tidak tahu waktu tanyalah kepada kepada wanita agar memberi tahu waktunya”.

Ketika umur kami menginjak sekitar 9 tahun beliau mulai membangunkan kami untuk sholat subuh, beliau membangunkan kami satu persatu dan mengulang-ulang doa bangun tidur dan bertahlil serta mengatakan kepada kami :” Baca ini dan ini “. Maka beliau mengulang doa dipendengaran kami kemudian pergi sebentar dan beliau kembali lagi untuk memastikan bahwa kami benar-benar terbangun. Ketika kami telah memiliki telfon pararel dalam rumah beliau menghubungi satu persatu di kamar masing-masing untuk membangunkannya guna manunaikan sholat subuh, sampai-sampai saudaraku yang telah menikah yang tinggal disamping rumah kami, beliau pun menelfonnya.

Pertanyaan : Dan bagaimana dalam masalah hijab dan pakaian?

Jawab : Ketika sekitar umur 10 tahun kami memakai baju panjang (jubah), beliau sangat perhatian agar jubah itu panjang dan tidak tipis, dan beliau selalu mengingatkan hal itu. Ketika kami telah dewasa beliau memperingatkan kami dari model pakaian yang tidak menutup. Dalam masalah pakaian beliau senang pakaian panjang dan memiliki lengan panjang. Ketika dalam masa sempit, ibuku memberikan kami pakaian dengan lengan pendek, ketika itu kami masih kecil, beliau (ayah) merasa bimbang dengan hal itu dan meminta ibu untuk berhati-hati dan menjadikan lengannya panjang. Suatu ketika sebelum beliau wafat, kami mengucapkan salam kepadanya, maka beliau memegang salah satu dari kami untuk mendekat. Beliaupun menyentuh tangannya untuk mengetahui seberapa panjang lengan bajunya, bila tahu lengan itu pendek maka beliau menasehati untuk menutupinya.

Pertanyaan : Ketika terjadi sesuatu yang tidak beliau ridhoi baik perkataan atau perbuatan dari kalian ketika masa kecil, bagaimana beliau menghukumi perkara itu ?

Jawab : Beliau memiliki kepribadian yang kuat dan kami sangat segan terhadap kepribadian beliau, kami tidak suka berbuat atau berkata yang membuat beliau marah, bila terjadi kesalahan beliau memanggil yang salah dan memberitahu sisi kesalahannya serta mengajari hal yang sepatutnya dilakukan. Dalam kondisi seperti ini akan nampak tanda-tanda kemarahan. Aku tidak ingat sama sekali kalau beliau pernah memukul, beliau tidak memukul tetapi mengajarkan dengan kata-kata.

Pertanyaan : Dari sekian sikap beliau dalam masalah pendidikan yang anda dapatkan darinya, apakah anda ingat sikap yang sangat membekas dan ingin anda terapkan pada putra-putri anda?

Jawab : Dari sekian sikap-sikap beliau yang saya ingat, ketika saya masih kecil saya salah dalam urutan berwudlu. Sayapun berselisih dengan saudara saya dalam hal itu. Maka saudara saya mengabarkan hal itu kepada ayah. Beliau lalu mengumpulkan kami dan memintaku untuk mengampil salah satu kitab fikih dan memintaku untuk membuka kitab masalah wudlu. Beliau memintaku untuk membacanya. Ketika aku telah membacanya, jelaslah bagiku kesalahanku dalam tatacara wudlu, lalu beliau berkata :” apakah kamu tahu sekarang ?”. aku menjawab :” iya”. Lalu beliau berkata :” Alhamdulillah”. Kemudian beliau menjelaskan kepadaku tatacara wudlu agar lebih faham. Ini menunjukkan perhatian beliau –semoga Allah merahmatinya- untuk memperingatkan dan memotivasi kami agar mentelaah permasalahan-permasalahan dalam kitab yang baik.

Nauf ( putri beliau yang paling kecil )

Pertanyaan : Dalam pergaulan dengan putra-putri beliau, apakah beliau memberikan perlakuan khusus terhadap putri-putri beliau ?

Jawab : Pergaulan beliau sama kepada semua putra-putrinya tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, beliau tidak mengkhususkan perlakuan terhadap putri-putrinya akan tetapi beliau adil kepada kami dalam semua hal.

Wafa (cucu perempuan beliau dari putrinya yang bernama Sarah)

Pertanyaan : Ketika kalian kecil apakah kalian menonton televisi di rumah kakek kalian ?

Jawab : Di rumah kakek tidak ada sarana-sarana yang sia-sia yang sekarang beredar seperti televisi dan lain sebagainya.

Pertanyaan : Bagaimana hubungan beliau terhadap wanita-wanita sekeluarga ?

Jawab : beliau bersikap lemah lembut dan suka tersenyum kepada semua orang, beliau memiliki jiwa canda yang disukai, beliau menyambut dan menyapa semua wanita yang ada dalam pertemuan rutin keluarga serta menanyakan keadaan mereka.

Fatimah ( istri cucu beliau yang bernama Walid bin Abdillah)

Pertanyaan : Apakah anda ingat suatu momen bersama ayahanda ?

Jawab : Setelah pernikahanku selang 2 hari aku berziarah ke rumah beliau, ketika aku mengucapkan salam kepadanya beliau memegang tanganku sampai siku dan ketika itu aku memakai baju lengan pendek., maka beliau menasehatiku agar memakai baju dengan panjang karena lebih bisa menutupi, kemudian mendoakanku. Kejadian itu tidak akan pernah aku lupakan.

Maha (cucu beliau dari salah seorang putrinya)

Pertanyaan : Maukah anda menceritakan kepada kami salah satu momen pilihan ketika beliau bercanda bersama anak-anak kecil dan cucu-cucu beliau ?

Jawab : Dahulu beliau bersifat lemah lembut dalam bercanda bersama anak-anak kecil, cucu-cucu beliau dan secara umum kepada anak kecil lainnya. Kebanyakan beliau menanyai mereka dengan beberapa pertanyaan tertentu, seperti : siapa Robb mu? Siapa Nabimu ? apa agamamu? Apa kamu memiliki hafalan al qur’an ?. kemudian beliau mengajari jawabannya kalau mereka tidak tahu, namun waktu beliau sedikit untuk duduk bersama mereka dikarenakan banyaknya kesibukan beliau.

Semoga Allah merahmati dengan rahmat yang luas kepada Ibnu Baz; imam, sang pendidik, yang jadi panutan. Dan mengumpulkan beliau bersama golongan para Nabi, para siddiqin, Syuhada’ dan orang-orang sholih, dan merekalah sebaik-baik teman.

Sumber: Direktori Islam yang menukil dan menterjemahkan dari: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=328