Penulis: Ust. Abu Hamzah (Kitab Tauhid) 
"Dan  sesungguhnya telah Kami utus seorang rasul pada setiap ummat agar  mereka menyeru, Beribadahlah kalian semua kepada Allah dan jauhilah  thaghut". (An-Nahl : 36).
"Dan tidaklah Kami utus seorang rasul  sebelum kamu (Muhammad), kecuali telah Kami wahyukan kepadanya bahwa  sesungguhnya tiada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Aku, maka  sembahlah Aku." (Al-Anbiya : 25).
Telah lewat jaman para Rasul, dan  telah turun syariat mereka untuk kaum-kaum mereka. Begitu pula telah  ditetapkan inti ajaran dan dakwah dari Rasul kita, yaitu Muhammad  Shallallahu 'alaihi wasalam. 
Para rasul adalah orang-orang yang  terpilih untuk menyampaikan risalah yang agung ini. 
Tidaklah Allah  Ta'ala mengutus dan memberikan amanah ini kepada seseorang kecuali pasti  dan pasti Allah Ta'ala mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Allah  'Azza wa Jalla juga tidak akan menciptakan manusia begitu saja,  ditelantarkan dan dibiarkan hidup tanpa tujuan. 
Hal ini sebagaimana  firman Allah Ta'ala : "Apakah manusia mengira bahwa mereka ditelantarkan  dan didiamkan saja " (Al-Qiyamah : 36). 
Imam Syafi'i menafsirkan ayat  ini, "Tidak dilarang dan tidak diperintah " (Fathul Majid Syarh Kitabut  Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh) 
Akan tetapi Allah berfirman : "Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat : 56)
Setelah  kita dapat mengetahui tujuan Allah menciptakan kita, maka akan jelaslah  apa tujuan dakwah para rasul bagi setiap umatnya, karena yang menjadi  tujuan Allah pastilah juga menjadi tujuan para utusan-Nya. 
Tujuan dakwah  para rasul tidak lain adalah makna dari ayat yang telah tertulis di  awal risalah ini (An-Nahl : 36). 
Adapun makna dari ayat tersebut,  Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, "Sesungguhnya Dia telah  mengutus seorang rasul kepada setiap kelompok manusia dengan kalimat  yang tinggi, "Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut",  yang artinya adalah beribadahlah kalian hanya kepada Allah semata dan  tinggalkan peribadatan kepada selain-Nya."
Adapun makna Thaghut,  Ibnul Qayyim berkata, "Thaghut adalah suatu keadaan yang melebihi  batasan-batasan seorang hamba, seperti diibadahi, diikuti atau ditaaati  (dalam hal yang melanggar syariat)." 
Maka Ibnul Qayyim membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :
1. Orang yag berhukum selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah).
2. Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.
3. Orang yang diikuti, tetapi dia tidak berada di atas bashirah (ilmu) dari Allah dan diapun ridlo.
4.  Orang yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara  tersebut hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam  keadaan ridlo. (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid)
Sungguh para rasul  yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu tauhid ini. Dapat dilihat  dari sejarah Nabi kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau  selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru  kemudian ilmu yang lainnya di Madinah. 
Perjalanan Rasulullah  Shalallahu 'alaihi wassalam ini menunjukkan betapa besarnya perkara  tauhid ini. 
Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, "Dan  perkara yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah Tauhid yang  artinya mengesakan Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang paling  besar adalah Syirik yang artinya beribadah kepada Allah tetapi disertai  juga beribadah kepada selain-Nya." (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad  at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin). 
Allah Ta'ala  berfirman dalam kitab-Nya : "Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan  kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." (An-Nisa : 36) 
Ibnul  Qayyim pun berkata, "Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya,  maka wajib bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya  bangunan itu ditentukan oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan  cermin dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya. 
Tentu  seorang yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya  dan berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang bodoh akan  berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama  bangunannya pasti akan runtuh." (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar :  13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany)
Perkataan Ibnul Qayyim ini  merupakan perkataan yang sangat indah. Perkataan yang menggambarkan  betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah jalla  jalaluh. Dengan tauhid maka akan menimbulkan keyakinan di hati seorang  hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan sungguh-sungguh, dia  tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang disekitarnya yang akan  melencengkan dia dari jalan yang lurus. Jika ada suatu hal yang  mencocoki syariat, maka akan dipegang erat-erat, jika tidak, maka akan  dijauhi sejauh-jauhnya. Itulah hasil yang didapat dari pondasi yang kuat  atau tauhid yang mantap. 
Akan tetapi sungguh telah banyak manusia  yang melalaikannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang  mengatakan, "Untuk memajukan umat ini kita harus memperhatikan  permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak  tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan  inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa barat". 
Subhanallah  !!! Maka tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang ditokohkan,  berbicara di atas panggung, maka mereka akan mengambil tema "Teknologi  Islam", "Ekonomi Islam", dan mengenyampingkan permasalahan tauhid. 
Jika  ada yang mengambil tema "Tauhid yang benar", "Aqidah yang lurus",  "Keutamaan Tauhid", maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan jaman,  padahal untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan kekokohan  pondasi yaitu kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan  al-Quran dan as-Sunnah, jika tidak, maka, demi Allah, hancurlah bangunan  mereka.
Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia : "Allah telah  menjanjikan bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih diantara  kalian untuk menjadikan mereka pemimpin-pemimpin di bumi ini,  sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu kalian sebagai pemimpin, dan  sungguh Allah akan menetapkan agama yang diridloi-Nya untuk mereka, dan  sungguh Allah akan menggantikan rasa takut menjadi rasa aman bagi  mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku  dan tidak berbuat syirik dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang  kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq." (An-Nur :  55). 
Ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa akan tercapainya  kepemimpinan di muka bumi, ketetapan agama dan ketenangan hidup adalah  hanya dengan mengamalkan tauhid, yaitu hanya beribadah kepada-Nya, dan  meninggalkan syirik, yaitu tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun  dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah janji Allah, yang Allah tidak  akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi jika kita mengingkari hal  tersebut, melaksanakan tauhid dan meninggalkan syirik, maka Allah Ta'ala  akan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang fasiq.
Dengan  semua penjelasan-penjelasan di atas, lalu bagaimanakah kita ? Apa yang  akan kita utamakan setelah ini, tauhid atau yang lainnya ? Dengan apakah  kita akan mendapatkan kejayaan, dengan tauhid atau dengan yang lain ?  Sungguh jawabannya hanya berkisar pada satu titik, yaitu inti dari  dakwah para rasul, yaitu mengetahui dan mengamalkan tauhid dan  meninggalkan syirik. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan  muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dan bukan musyrikin, Amiin ya  Rabbal 'Alamin. 
Wallahu A"lamu Bishshawab.     
http://Darussalaf.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar